Jumat, 29 April 2016

makalah ushul fiqh tentang hukum islam


MAKALAH
USHUL FIQIH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester
Mata Kuliah  Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : H. M. Aji Nugroho, Lc. M. Pd.I.

Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: C:\Users\topiq-pc\Pictures\logo iain.jpg

Disusun Oleh :
NAMA   : Ma’rifatul Mustaniroh
NIM       : 111-14-078


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016








PEMBAHASAN
A.    Hukum Ber-KB menurut Islam
1.      Pengertian KB
Untuk menjelaskan pengertian KB, maka penulis mengemukakan dengan pengertian umum dan pengertian khusus, yakni :
a.       Pengertian Umum
Keluarga Berencana ialah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa, sehingga bagi ibu maupun bayinya, dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakatnya yang bersangkutan, tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut.[1]
b.      Pengertian Khusus
Keluarga Berencana dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.[2]
Dari pengertian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa Keluarga Berencana adalah istilah yang resmi digunakan di Indonesia terhadap usaha-usaha untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga, dengan menerima dan mempraktekkan gagasan keluarga kecil yang potensial dan bahagia.
2.      Dampak Positif dan Negatif dari KB
a.       Dampak Positif
1)      Perbaikan kesehatan badan karena tercegahnya kehamilan yang berulangkali dalam jangka waktu yang terlalu pendek.
2)      Peningkatan kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan oleh adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak untuk beristirahat dan menikmati waktu terluang serta melakukan kegiatan-kegiatan lainnya.
b.      Dampak Negatif
3.      Pengaruh KB dari Segi Kesehatan
Pengaruh Keluarga Berencana dari sudut kesehatan terutama terjadi akibat-akibat berikut ini terhadap reproduksi manusia: [3]
a.       Pencegahan dari kehamilan dan kelahiran yang tak diinginkan, dan terjadinya kehamilan yang diinginkan yang dengan cara lain tak mungkin terjadi.
b.      Perubahan dari jumlah anak yang bisa dilahirkan seorang ibu.
c.       Variasi jarak waktu antara kehamilan.
d.      Perubahan saat terjadinya kelahiran terutama kelahiran yang pertama dan yang terakhir, sehubungan usia orang tua terutama si ibu.
4.      Macam-macam Alat Kontrasepsi
Dalam pelaksanaan KB harus menggunakan alat kontrsepsi yang sudah dikenal diantaranya ialah:
a.       Pil, berupa tablet yang berisi progrestin yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium.
b.      Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh. Cara kerjanya yaitu menghalangi ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak mungkin terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan sperma melalui canalis servikalis.
c.       Susuk KB, levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari lipatan siku. Cara kerjanya sama dengan suntik.
d.      AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss loop(spiral) multi load terbuat dari plastik harus dililit dengan tembaga tipis cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya sperma untuk membuahi sel telur wanita.
e.       Sterelisasi (Vasektomi/ tubektomi) yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang diejakulasi) bagi laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita sehingga ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya.
f.       Alat-alat konrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet vagmat, dan tiisu yang dimasukkan kedalam vagina. Disamping itu ada cara kontrasepsi yang bersifat tradisional seperti jamuan, urut dsb.
5.      Manfaat dari KB
a.       Manfaat untuk ibu
1)      Mencegah kehamilan yang tidak di inginkan
2)      Menjaga kesehatan ibu
3)      Merencanakan kehamilan lebih terprogram
b.      Manfaat untuk anak
1)      Mengurangi risiko kematian bayi
2)      Meningkatkan kesehatan bayi
3)      Mencegah bayi kekurangan gizi
4)      Tumbuh kembang bayi lebih terjamin
5)      Kebutuhan ASI eksklusif selama 6 bulan relatif dapat terpenuhi
6)      Mendapatkan kualitas kasih sayang yang lebih maksimal
c.       Manfaat untuk keluarga
1)      Meningkatkan kesejahteraan keluarga
2)      Harmonisasi keluarga lebih terjaga
3)      Meningkatkan kebahagiaan keluarga
6.      Tujuan Diadakannya Program KB
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi memiliki tujuan:
a.       Tujuan demografi yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju pertumbuhan penduduk (LLP)
b.      Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, menunda kehamilan anak pertama dan menjarangkan kehamilan setelah kelahiran anak pertama serta menghentikan kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.
c.       Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telah menikah lebih dari satu tahun tetapi belum juga mempunyai keturunan, hal ini memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia.
d.      Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi remaja atau pasangan yang akan menikah dengan harapan bahwa pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi dalam membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas.
e.       Tujuan akhir KB adalah tercapainya NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) dan membentuk keluarga berkualitas, keluarga berkualitas artinya suatu keluarga yang harmonis, sehat, tercukupi sandang, pangan, papan, pendidikan dan produktif dari segi ekonomi.
7.      Analisa Hukum Islam
a.       Al-qur’an
Keluarga berencana menjadi persoalan yang polemik  karena ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa keluarga berencana dilarang tetapi ada juga ayat al-qur’an yang mendukung program keluarga berencana . Dalam al-qur’an dicantumkan beberapa ayat yang berkaitan dengan keluarga berencana , diantaranya  :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(Qs.An-Nisa : 9 )
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.(Qs.Al-Qashash: 77)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
 وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup rumah tangga.
b.      Hadis
Untuk memperjelas lagi , berikut ada hadist nabi:
إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة لتكففون الناس
Artinya: “sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.”
Dari hadits ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang lain  (masyarakat). Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya direncanakan dan amalkan sampai berhasil.
c.       Menurut Pandangan Ulama’
1.      Ulama’ yang membolehkan
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut, Ulama’ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti progaram KB dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat al-Mu’minun ayat: 12, 13, 14.
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
Artinya : “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”
2.      Ulama’ yang melarang
Selain ulama’ yang memperbolehkan ada para ulama’ yang melarang diantaranya ialah Madkour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan.[4] Seperti firman Allah:
ولا تقتلوا أولادكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”.
8.      Cara KB diperbolehkan dan dilarang oleh islam
a.       Cara yang diperbolehkan
Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain, menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini dapat dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana hadits Nabi :
كنا نعزل على عهد وسول الله ص. م. فلم ينهها (رواه مسلم )
Artinya : Kami dahulu dizaman Nabi SAW melakukan azl, tetapi beliau tidak melarangnya.
b.      Cara yang dilarang
Ada juga cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah atau merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini antara lain, vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini menentang tujuan pernikahan untuk menghasilakn keturunan.
9.      Hasil Hukum Kajian
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencana (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga.

10.  Kesimpulan dan Saran
a.       Kesimpulan
Keluarga berencana berarti pasangan suami istri yang telah mempunyai perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira dan syukur dan merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuannya dan situasi kondisi masyarakat dan negaranya.
Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat sementara (tidak permanen) dan dapat dipasang sendiri oleh yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang auratnya atau oleh orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang auratnya tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu bahan pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan.
Alat/metode kontrasepsi yang tersedia saat ini telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa KB secara substansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan merupakan salah satu bentuk implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, mawardah, sakinah dan penuh rahmah. Selain itu, kebolehan (mubah) hukum ber-KB, dengan ketentuan-ketentuan seperti dijelaskan diatas, sudah menjadi kesepakatan para ulama dalam forum-forum ke Islaman, baik pada tingkat nasional maupun Internasional (ijma’al-majami). 
Hukum KB secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, Kb juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam
b.      Saran
Dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera sesuai dengan syariat Islam  maka penulis berharap pemerintah tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat agar melaksanakan program pemerintah karena dengan menggunakan alat kontrasepsi bukan berarti menolak takdir dari Allah SWT tetapi dalam rangka meningkatkan ke Imanan dan Ketaqwaan kepada Allah SWT.
B.     Hukum Membagi Warisan Sebelum Meninggal
1.      Pengertian Hukum Warisan
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.[5]
Hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraid.[6]
2.      Sistem Kewarisan dalam Islam
Hazairin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri atau spesifikasi sistem hukum kewarisan Islam menurut Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
a.       Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah.
b.      Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip diatas maksudnya ialah jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
c.       Bahwa suami-isteri saling mewarisi; artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.
3.      Pola pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia
Sebelum menjelaskan masalah pembagian warisan sebelum meninggal, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis harta, yaitu :
a.       Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. Baik diberikan kepada kerabat, keluarga, atau kepada yang lain. Tanpa mengharapkan imbalan sesuatu apapun.[7]
b.      Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. Baik barupa benda maupun hutang, atau berupa hak atas harta, seperti hak usaha, maupun hak jinayah dan qishash. Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
c.       Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. Dalam keabsahan wasiat oleh semua ulama mazhab sepakat hukumnua diperbolehkan oleh syariat islam. Wasiat juga dianggap sah jika diucapaka atau diperbuat dalam keadaan sehat dan bebas dari sakit; ataupun dalam keadaan sakit yang yang membawa pada kematian.
Jika seorang pewaris membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:
1)      Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut dinamakan Hibah (harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh.
2)       Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya: Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a)Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist: 
“Tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, yaitu : sebagai bantuan bagi yang membutuhkan dan sebagai sarana silaturahim.
b)      Pewaris boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
c)      Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
d)      Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
a)         Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
b)        Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
c)         Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).
4.      Hukum Kajian
Membagi warisan sebelum meninggal dunia/masih hidup hukumnya boleh. Akan tetapi Seseorang yang membagikan hartanya sebelum meninggal itu termasuk kedalam hibah, karena hibah itu sendiri dapat dilakukan tanpa menunggu orang yang memberikan itu meninggal terlebih dulu. Benda ataupun harta yang diberikan akan langsung perpindah hak kepada orang yang diberikan pada saat itu juga. Namun apabila harta tersebut diberikan pada saat kondisi dari pewaris sedang dalam kondisi sakit dan sudah dekat dengan kematian, maka harta atau benda yang diberikan itu termasuk kedalam harta waris.
Didalam hibah itu sendiri harus adanya serah terima harta atau benda yang akan diberikan, berbeda dengan harta warisan, dimana harta atau benda tersebut akan berpindah tangan secara otomatis ketika pewaris sudah meninggal sesuai dengan hak yang telah ditentukan oleh syarat ahli waris. Jadi seseorang yang ingin memberikan hartanya sebagai harta waris sebelum meninggal itu termasuk ke dalam jenis hibah, bukanlah termasuk kedalam jenish harta warisan. Dan untuk anda yang ingin memberikan harta kepada anak ataupun saudara anda sebelum anda meninggal, maka harta tersebut termasuk jenis hibah, dan itu tetap sah saja dilakukan sesuai dengan syarat hibah yang telah ditentukan.
5.      Kesimpulan dan Saran
a.       Kesimpulan
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.
Sistem Kewarisan dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris, Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya, Bahwa suami-isteri saling mewarisi; artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.
Sebelum menjelaskan masalah pembagian warisan sebelum meninggal, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis harta, yaitu : harta pemberian, harta warisan, harta wasiat. Dan jika seorang pewaris telah meninggal maka harus ada penjelasan yang lebih rinci mengenai harta yang harus dibagi.
b.      Saran
Dari penjelasan tersebut, penulis berharap untuk pembagian harta warisan seharusnya dibagi setelah orang tersebut (pewaris) itu meninggal dunia. Dan sebelumnya pewaris memberikan pesan-pesan tersebut kepada notaris yang kemudian si notaris membicarakan kepada keluarga yang bersangkutan mengenai pembagian hasil.
Jika tidak memakai notaris, setidaknya pihak keluarga / ahli waris bisa membaginya sendiri dengan ketentuan yang ada di kitab faraidh (kitab yang membahas tentang harta warisan.
C.     Hukum Memakan Anjing Laut
1.       Pengertian
Anjing laut adalah binatang laut yang rupanya seperti anjing yang hidup di tempat yang sejuk dan di air.
Anjing laut umumnya bertubuh licin dan cukup besar. Tubuhnya beradaptasi dengan baik untuk habitat akuatiknya, di mana mereka menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Sebagaitangan, kaki depannya berukuran besar dan berbentuk seperti sirip, dan tubuhnya menyempit kebelakang.[8]
2.       Fungsi dan Tujuan
3.       Dasar Pembentukan Hukum
Setiap hewan yang hanya hidup di laut maka termasuk shaydul bahr (buruan laut). Karena tidak ada dalil yang mengecualikannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa buaya dan ular air tidak boleh dimakan, namun tidak ada dalil khusus mengenai hal ini.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam konteks umum:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ
Artinya : “dihalalkan bagimu buruan laut dan makanan yang ada di laut” (QS. Al Maidah: 96)
Dan yang dimaksud shaydul bahr (buruan laut) adalah hewan-hewan yang hanya hidup di air. Adapun buaya, dia hidup di darat dan juga di air sehingga lebih diunggulkan sisi pelarangannya. Adapun hewan yang hanya hidup di air maka halal hukumnya tanpa pengecualian.
4.    Pandangan Ulama’ tentang Memakan Anjing Laut
Menurut beberapa pandangan ulama’, mengemukakan pendapatnya tentang memakan anjing laut, yaitu sebagai berikut :
a.       Abu Hanifah Mengatakan bahwa tidak halal makan binatang yang hidup di laut kecuali yang bentuknya seperti ikan.
b.      Ibnu Abi Laila, Mujahid, Auza’I, sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah Mengatakan bahwa apa-apa yang bentuknya mirip binatang darat yang halal, seperti sapi laut dan kuda laut, maka halal untuk dimakan. Sedang yang bentuknya mirip dengan binatang darat yang haram dimakan, seperti anjing laut, dan babi laut,  maka haram untuk dimakan.
c.       Madzab Maliki, Syafi’I dan Hambali Mengatakan bahwa seluruh binatang yang hanya hidup di laut dan tidak bisa hidup di darat, maka halal untuk dimakan, walaupun kadang bentuknya menyerupai binatang darat yang haram, seperti anjing laut dan babi laut.
Dalil-dalil yang digunakan dari pendapat ketiga ini adalah sebagai berikut:
1)            Firman Allah QS. Al-Maidah:96, yaitu :
احِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Artinya :  “ Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (Qs. al-Maidah : 96)
2)            Firman Allah QS. Al-Fathir ayat 12 :
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا
Artinya: ““Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya” (Qs. Fathir : 12)
3)            Dalam sebuah hadist yang berbunyi :
عن أبي هُرَيْرَةَ أنه يقول :  سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya : “Dari Abu Hurairah bahwasanya ia berkata; “ Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seraya berkata; "Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya." (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah) 
4)            Dalam sebuah hadist yang berbunyi :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Artinya :“Dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: dua bangkai maksudnya ikan dan belalang, dua darah maksudnya hati dan limpa. “ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
5)            Bahwa nama-nama binatang laut yang mereka sebut sebagai singa laut, anjing laut, ular laut, babi laut dan lain-lainnya hanyalah sebutan saja, yang hakikatnya tidak seperti binatang-binatang serupa yang hidup di darat. Sehingga tidak bisa dihukumi seperti hukum binatang-binatang di darat hanya karena kebetulan namanya sama.
5.       Kajian Hukum
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa memakan anjing laut hukumnya boleh. Dikarenakan anjing laut adalah hewan yang hidup dilaut. Dan semua yang hidup di laut hukumnya boleh dimakan. Seperti anjing laut, babi laut, dll.
6.       Kesimpulan dan Saran
a.         Kesimpulan
Anjing laut adalah binatang laut yang rupanya seperti anjing yang hidup di tempat yang sejuk dan di air.
Setiap hewan yang hanya hidup di laut maka termasuk shaydul bahr (buruan laut). Karena tidak ada dalil yang mengecualikannya. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Seperti Abu Hanifah dan madzhab Maliki, Syafi’I dan Hambali yang membolehkan memakan hewan yang hidup di laut, seperti anjing laut. Namun Ibnu Abi Laila, Mujahid, Auza’I, sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah Mengatakan bahwa apa-apa yang bentuknya mirip binatang darat yang halal, seperti sapi laut dan kuda laut, maka halal untuk dimakan. Sedang yang bentuknya mirip dengan binatang darat yang haram dimakan, seperti anjing laut, dan babi laut,  maka haram untuk dimakan.

b.        Saran
Untuk memakan sesuatu yang halal, meskipun ada pendapat yang membolehkan makan anjing laut, namun sebaiknya tidak memakannya, dikarenakan anjing laut bertahan hidup di dua tempat.
D.    Hukum memakai Cadar
1.         Pengertian Cadar
Cadar adalah Kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, dimana hanya matanya saja yang nampak, bahasa arabnya khidir atau tsiqab, sinonim dengan burqu : marguk.
2.      Manfaat Memakai Cadar
Memakai manfaat memakai cadar yaitu :
a)      Menutupi aurat.
 Hal pertama dari manfaat bercadar ialah menutupi aurat bagi wanita. Kita tela mengetahui tentang perintah Allah S.WT untuk menutup aurat dan bercadar termasuk menutup aurat.
b)      Menghindari berbagai macam fitnah.
c)      Terhindar dari debu dan kotoran-kotoran.
d)     Memperkecil bahaya dari polusi udara.
e)      Memberikan perlindungan dari efek sinar matahari.
f)       Melindungi wanita dari berbagai bentuk kejahatan dan godaan dari kaum adam.
g)      Dapat membantu lelaki untuk menjaga pandangannya.
h)      Agar tertutup kesempatan dalam perzinaan dan perselingkuhan.
i)        Agar memuliakan seorang wanita dan lelaki tidak bisa menilai wanita dari bentuk fisiknya saja.
j)        Mengurangi kerusakan moral yang terjadi di masyarakat.
3.    Pendapat Ulama’ mengenai memakai Cadar
Pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.[9]
a.       Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
 Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
b.    Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
c.     Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
d.      Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
Ibnu Muflih berkata:
قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
4.    Kajian Hukum
Dari penjelasan diatas dapat di jelaskan bahwa hukum memakai cadar itu boleh . Jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
a.       Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Artinya: Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
b.      Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.













[1]Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003) hlm.58-59.
[2]Muhammad Syaltut, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Sejarah, (Yogyakarta : Lesfi, 2003), hlm.168-169
[3]Ibid.,hlm.170.
[6]Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3.
[7]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008), hlm.535.